Pencamaran Air
Pencamaran Air
1. PENDAHULUAN
Pencemaran air adalah suatu perubahan keadaan di suatu tempat penampungan air seperti danau, sungai, lautan dan air tanah akibat aktivitas manusia.

Walaupun fenomena alam seperti gunung berapi, badai, gempa bumi dan lain-lain, juga mengakibatkan perubahan yang besar terhadap kualitas air, hal ini tidak dianggap sebagai pencemaran.

Sungai merupakan salah satu komponen lingkungan yang memiliki fungsi penting bagi kehidupan dan perikehidupan manusia. Salah satu fungsi sungai yang utama saat ini asalah fungsinya sebagai sumber air untuk pengairan lahan pertanian dan untuk memenuhi kebutuhan air bersih, baik untuk kebutuhan rumah tangga maupun untuk kegiatan sector perindustrian.

Kelestarian fungsi lingkungan sungai dapat terancam oleh penurunan kualitas airnya. Gejala penurunan kualitas air sungai sekarang ini telah diamati secara mudah terutama gejala pencemaran yang terindera seperti : kebusukan air, kehitaman air, kekeruhan, warna air yang non alami, bau dan efek iritasinya pada kulit manusia dan hewan.
Berdasarkan himpunan data pemantauan kualitas air sungai Citarum dan anak sungainya yang berada di kabupaten Bandung, beberapa sungai masih menunjukkan gejala penurunan kualitas air, yang pada umumnya disebabkan oleh masukan limbah.Oleh karena itu, pencemaran air sungai perlu dikendalikan seiring dengan pelaksanaan pembangunan agar fungsi sungai dapat dilestarikan untuk tetap mampu memenuhi hajat hidup orang banyak dan mendukung pembangunan secara berkelanjutan. Upaya-upaya yang ditempuh oleh pemerintah Kabupaten Bandung dalam mengendalikan pencemaran air di wilayahnya adalah dengan melakukan :
1. Pemantauan industri (pemantauan – pembinaan industri dan pengambilan sampel limbah cair).
2. Pemantauan sungai (pengambilan sampel sungai dan kajian data analisis laboratorium).

Pencemaran air dapat disebabkan oleh berbagai hal dan memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Sebagian penyebabnya adalah,
– Meningkatnya kandungan nutrien dapat mengarah pada eutrofikasi.
– Sampah organik seperti air comberan (sewage) menyebabkan peningkatan kebutuhan oksigen pada air yang menerimanya yang mengarah pada berkurangnya oksigen yang dapat berdampak parah terhadap seluruh ekosistem.
– Industri membuang berbagai macam polutan ke dalam air limbahnya seperti logam berat, toksin organik, minyak, nutrien dan padatan. Air limbah tersebut memiliki efek termal, terutama yang dikeluarkan oleh pembangkit listrik, yang dapat juga mengurangi oksigen dalam air.

Bandung sebagai salah satu kota besar yang diset sebagai kota jasa, menjadi tempat yang menarik bagi masyarakat untuk mengembangkan kehidupan sosial ekonominya. Semakin banyak pendatang dari daerah lain mencoba mengadu nasib di kota ini. Hal tersebut mengakibatkan laju pertambahan penduduk Kota Bandung kian hari kian meningkat. Penduduk Kota Bandung yang berjumlah sekitar 2,6 juta jiwa mengalami pertambahan penduduk sekitar 50.000 sampai 70.000 jiwa per tahun. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa aktivitas masyarakatnya akan semakin bertambah. Semakin bertambahnya tingkat aktivitas ini akan berdampak pada meningkatnya produksi limbah yang dihasilkan baik limbah cair maupun limbah padat.

2. PENCEMARAN AIR DI KOTA BANDUNG
Berdasarkan data Pemerintah Kota Bandung, saat ini Kota Bandung menghasilkan sampah sekitar 6.000 m3/hari. Data BPS tahun 1999 menyatakan bahwa baru 11,25% sampah di daerah perkotaan yang diangkut oleh petugas, 63,35% sampah ditimbun atau dibakar, 6,35% sampah dibuat kompos, dan 19,05% sampah dibuang ke kali atau dibuang sembarangan. Besarnya volume sampah yang dibuang ke kali atau dibuang sembarangan berpotensi pada terjadinya pencemaran sungai. Jumlah sampah yang dibuang ke kali atau dibuang sembarangan tersebut berkontribusi terhadap pencemaran sungai sebanyak 60-70% dari semua jenis polutan sungai (Draft Naskah Akademik RUU Pengelolaan Persampahan).

Sampah baik berupa sampah organik maupun anorganik di dalam sungai akan mengalami pembusukan dan akan menurunkan kualias air, sehingga akhirnya sumberdaya air sungai tersebut sudah tidak memenuhi syarat baku mutu sebagai sumber air bersih bagi masyarakat. Bahkan PDAM Kota Bandung menjadikan Sungai Cikapundung sebagai salah satu sumber air bakunya dengan jumlah debit 600 liter/detik. Sementara kondisi kualitas air sungai ini sebetulnya semakin hari semakin menurun. Berdasarkan pengukuran yang dilakukan oleh Kelompok Kerja Komunikasi Air bersama Environmental Services Program – USAID, pada bulan Mei 2007 kadar oksigen terlarut (Dissolved Oxygen) di titik pantau Dago Bengkok menunjukkan angka 5,8 mg/liter dan pada bulan Juni 2007 turun menjadi 1,3 mg/liter. Sedangkan di titik pantau Banceuy pada bulan Mei kadar oksigen terlarut menunjukkan angka 5,7 mg/liter dan pada bulan Juni 2007 turun menjadi 2,8 mg/liter. Padahal menurut PP No. 8 tahun 2001, syarat kadar oksigen terlarut untuk air baku minimal 6 mg/liter. Hal ini cukup mengindikasikan betapa tercemarnya Sungai Cikapundung saat ini, yang salah satunya disebabkan oleh sampah yang dibuang ke sungai baik secara langsung maupun tidak langsung.

Harus diakui bahwa tercemarnya Sungai Cikapundung merupakan dosa kita bersama. Sebenarnya aturan hukum yang mengatur masalah persampahan di Kota Bandung sudah ada berupa Peraturan Daerah Kota Bandung No. 27 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kebersihan Di Kota Bandung. Dalam perda ini diatur bahwa pengelolaan sampah di Kota Bandung menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah dan masyarakat. Begitu pula dalam Perda K3 No. 11 tahun 2005 pasal 49 ayat 1 n mengatur sanksi terhadap masyarakat yang membuang sampah sembarangan. Namun di satu sisi sosialisasi peraturan ini masih dirasa kurang, mengingat masih banyak masyarakat yang belum mengetahui peraturan ini. Sarana untuk pembuangan sampah pun masih dirasakan jauh dari cukup. Di sisi lain, tidak dapat dipungkiri masih banyak pula masyarakat yang kurang sadar untuk membuang sampah pada tempatnya. Masyarakat belum memiliki budaya takut dan malu dalam membuang sampah. Selain itu, pemerintah pun masih kurang tegas dalam menerapkan sanksi terhadap pelanggar peraturan. Sehingga implementasi peraturan-peraturan yang ada tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya.

Sampai dengan saat ini pengelolaan persampahan oleh pemerintah masih menitikberatkan pada pengelolaan ketika sampah telah dihasilkan. Kegiatan pengumpulan, pengangkutan, dan pembuangan sampah ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah menjadi hal yang menonjol dilakukan oleh pemerintah. Meskipun dalam Perda No. 27 tahun 2001 disinggung pula bentuk pengelolaan sampah berupa pengurangan sampah sejak dari sumbernya, pemanfaatan atau penggunaan kembali, daur ulang dan pengomposan sampah secara maksimal.

Sesampainya di TPA pun permasalahan sampah ini bukan berarti selesai, karena pada kenyataannya TPA hampir selalu bermasalah. Prof. Enri Damanhuri, peneliti dari Teknik Lingkungan ITB, dalam sebuah kesempatan diskusi bersama media yang diselenggarakan oleh K3A bersama ESP-USAID, menyebutkan bahwa pemahaman semua pihak tentang TPA masih salah kaprah. Di mana fasilitas TPA ini hanya dianggap sebagai tempat membuang sampah. Padahal dalam menentukan sebuah TPA perlu dicari lokasi yang cocok dan baik, perlu dirancang dan dibangun dengan baik dan benar, dan perlu dioperasikan dan dimonitor secara sungguh-sungguh. Sehingga dibutuhkan dana anggaran yang memadai, sarana dan prasarana yang memadai, dan SDM yang terampil dan terlatih. Tanpa prasyarat itu semua, dapat dipastikan TPA akan selalu bermasalah dan masyarakat sekitar TPA tetap enggan untuk menerima sampah orang kota.

Sampai dengan akhir Pelita V, baru 1,33% dari seluruh TPA yang ada di perkotaan di Indonesia yang menggunakan metoda pembuangan akhir sampah Sanitary Landfill (Adipura 1997) dan hingga saat ini, pengoperasiannya telah berubah menjadi metoda Open Dumping akibat keterbatasan dana operasi dan pemeliharaannya. Begitu pula yang terjadi di TPA Leuwigajah sebagai tempat pembuangan akhir dari sampah yang dihasilkan Kota Bandung yang beroperasi sejak tahun 1987 hingga tahun 2005. Menurut Prof. Enri Damanhuri, persoalan utama dalam pengelolaan sampah di TPA Leuwigajah adalah kurangnya persiapan lahan. Akibatnya infrastruktur berupa pipanisasi, tempat pengolahan, serta kolam penetralisir air sampah (lindi) belum dibangun. (Kompas, Teropong – 14 Maret 2005). Karena sanitary landfill tidak berlangsung dengan baik, tidak heran sekitar satu tahun setelah TPA beroperasi, pencemaran air sampah terhadap sumber air masyarakat sudah tinggi. Pencemaran air tanah oleh lindi karena tidak adanya lapisan dasar dan tanah penutup yang akan menyebabkan lindi semakin banyak dan dapat mencemari air tanah.

Warga sekitar TPA Leuwigajah menuturkan bahwa semenjak TPA ini mulai berfungsi, mata air yang semula digunakan untuk mandi, memasak, dan mengairi sawah, sama sekali tidak bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Ini karena mata air itu telah tertimbun oleh sampah. Setelah ada sampah, mata air itu bercampur air hitam seperti air kopi dari rembesan sampah.

Pengelolaan sampah skala kota merupakan sebuah sistem yang kompleks, namun harus menjadi satu kesatuan yang terpadu dan terintegrasi. Jika sampai saat ini bentuk pengelolaan persampahan seperti di atas dipandang belum dapat menyelesaikan permasalahan yang ada, maka perlu segera dicari bentuk pengelolaan baru atau perbaikan dari sistem yang telah ada. Pemerintah harus terus membenahi sistem pengelolaan persampahan kota dengan memperhatikan dampak lingkungan yang mungkin timbul dari sistem yang akan diterapkan. Saat ini banyak bermunculan inisiatif-inisiatif pengelolaan sampah berbasis masyarakat. Hasilnya pun cukup membanggakan, di mana masyarakat mampu mengurangi volume sampah yang dihasilkannya. Misalnya seperti yang dilakukan oleh warga RW 15 dan RW 20 Kelurahan Tamansari yang telah mampu mengolah sampah organik menjadi kompos dan sampah plastik menjadi barang-barang yang mempunyai nilai ekonomis. Perlu dukungan dari pemerintah menanggapi munculnya inisiatif tersebut, sehingga akan mendorong inisiatif baru dari masyarakat lainnya. Sehingga pada akhirnya volume sampah yang dihasilkan Kota Bandung akan berkurang dan tingkat pencemaran yang disebabkan oleh sampah pun akan berkurang pula.

3. CARA PENANGGULANGAN PENCEMARAN AIR
Pada Periode 1980-saat ini, berbagai pilot plant untuk masing-masing jenis air limbah yang diantaranya meliputi:
1. Pilot plant industri tekstil Cimahi dengan proses fisika-kimia-biologi;
2. Pilot plant limbah agro industri, di Lampung dengan proses fisika (saringan putar)-kimia-biologi;
3. Pilot plant limbah penduduk Karasak dengan proses biologi trickling filter media bambo;
4. Pilot plant industri tekstil Senayan dengan proses fisika-kimia;
5. Pilot plant industri gabungan Bandung Selatan dengan proses fisika-kimia;
6. Pilot plant pengolahan limbah penduduk dengan proses biologi media Batmik (Batu Bata Keramik);
7. Pilot Plant Pengolahan Air Limbah dengan proses elektro-kuagulasi;
8. Pilot Plant Pengolahan Air Limbah dengan proses biologi trickling filter media terendam;
9. Pilot Plant Pengolahan limbah laboratorium dengan proses fisika-kimia-biologi di Laboratorium Balai Lingkungan Keairan;
10. Prototip Instalasi Pengolahan Air Limbah Industri Gabungan untuk Kluster Dayeuh Kolot-Bandung Selatan (lihat Gambar-2),
11. Pilot Plant PPA dengan sistem Ekoteknologi (Wetland) untuk pelestarian sumber air dengan skala laboratorium di Balai Lingkungan Keairan, Pulitbang Sumber Daya Air yang kemudian diterapkan dengan skala prototip yang berlokasi: di Kota Baru Parahiangan – Padalarang, IPAL-Domestik Bojong Soang – Bandung, Green Belt Saguling-Cangkorah–Kabupaten Bandung

4. KESIMPULAN
Meskipun 70% permukaan bumi tertutup air, namun sesungguhnya hanya sekitar 2.5% saja yang berupa air tawar, yang lainnya merupakan air asin. Itu pun tidak sampai 1% yang bisa dikonsumsi, sedangkan sisanya merupakan air tanah yang dalam atau berupa es di kutub. Tidaklah pada tempatnya kalau orang mengeksploitasi air secara berlebih. Mereka memanfaatkan air seolah-olah air berlimpah dan merupakan ‘barang bebas’. Padahal semakin terbatas jumlahnya akan berlaku hukum ekonomi, dimana air merupakan benda ekonomis. Sebagai bukti, masyarakat pedesaan harus berjalan kaki puluhan kilometer untuk mendapatkan air di musim kemarau. Orang rela bersusah payah dan berani membayar mahal untuk membeli air ketika terjadi krisis air.

Adanya permasalahan air yang sedang dialami dunia ini telah mendorong dan meningkatkan kesadaran dan kepedulian perlunya upaya bersama dari seluruh komponen bangsa dan bahkan dunia untuk dengan kebersamaan memanfaatkan dan melestarikan sumberdaya air (SDA) secara berkelanjutan. Pengelolaan SDA seperti cara lama yang dilakukan sendiri-sendiri atau secara terbatas oleh instansi-instansi pemerintah dan para ahli bidang air sudah tidak dapat secara efektif mengatasi permasalahan. Pengalaman menunjukkan pengelolaan SDA yang berkelanjutan tidak dapat diselesaikan sendirian oleh pemerintah dan karena itu perlu melibatkan banyak pihak diluar instansi pemerintah. Dengan kesadaran akan pentingnya air sebagai sumber kehidupan baik masa kini maupun masa datang yang dibutuhkan oleh berbagai sektor, maka air merupakan urusan semua orang. Ungkapan ‘Water is everybody business’ yang telah mendunia menjadi pedoman bagi seluruh pihak dalam pengelolaan SDA.

Air merupakan barang ultra-esensial bagi kelangsungan hidup manusia, bahkan para ahli memprediksi bahwa air akan menjadi sumber konflik di abad ke-21 ini. Bocoran laporan terkini dari Pentagon yang dikutip The Observer menyebutkan bahwa akan terjadi ‘catastrophic shortage’ (kekurangan air yang dahsyat) terhadap air di masa mendatang yang akan mengarah pada menyebarnya perang di sekitar tahun 2020. Di sisi lain kita juga sering bersikap ‘take it for granted’ terhadap air. Bahkan dalam ilmu ekonomi dikenal adanya ‘water-diamond paradox’, di mana air yang begitu esensial dinilai begitu murah, sementara mutiara yang hanya sebatas perhiasan dinilai begitu mahal.

Masyarakat di perkotaan harus memiliki kesadaran membuat sumur resapan sekaligus penampung air hujan. Dengan meresapnya air hujan ke tanah, akan menambah cadangan air tanah sebagai sumber air bersih. Hal ini akan dapat mengatasi sebagian masalah kekurangan air di musim kemarau serta mencegah banjir di saat musim hujan. Mengingat repotnya memenuhi kebutuhan air bersih di perkotaan -yang mengandalkan air tanah dan air permukaan- sudah saatnya dilakukan revitalisasi gerakan hemat air dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini merupakan tindakan penyelamatan lingkungan hidup dan menghemat pengeluaran rumah tangga. Jika setiap orang di Yogyakarta dapat menghemat satu liter air setiap hari, ini berarti lebih dari 2 juta liter air yang bisa diselamatkan. Mengapa tidak menghemat air dimulai dari sekarang? Hal-hal berikut meski sederhana, namun sangat membantu sesama untuk menanggulangi kelangkaan air. Pertama, usahakanlah menggunakan air mandi sehemat mungkin, jika memungkinkan gunakanlah pancuran (shower) yang bisa diatur aliran airnya secara lambat. Kedua, bila menggosok gigi, mencuci piring, atau mencuci mobil, janganlah menggunakan air keran yang mengalir secara terus-menerus, tetapi tampunglah terlebih dahulu dengan memakai gayung atau ember. Ketiga, gunakanlah air parit untuk menyiram tanaman. Keempat, biasakan sebelum tidur malam, pastikan semua keran air tidak ada yang meneteskan air. Kelima, apabila ada kebocoran, laporkan secepatnya ke PAM terdekat agar membenahi pipa air yang bocor.

Terakhir MARILAH KITA SELALU MENJAGA, MELESTARIKAN, DAN MENGHEMAT AIR agar kita bisa menggunakan air sampai kapanpun.